watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

MENARA HATI

satu
Dalam dunia ini mungkin aku bukan siapa-siapa.
Bukan seorang selebritis, bukan pula seorang
gadis yang bisa menempatkan diriku di antara
kerumunan cowok-cowok di lorong kampus.

Terkadang dalam hati kecilku tersirat rasa ingin
demikian, ingin dikagumi, ingin dilihat dengan
pandangan iri. Tapi semua keinginan itu tingal
impian saat kulihat gadis pendek berkaca mata di
depan cermin.
“Ah, Mia. Kamu hanyalah gadis biasa,” demikian
selalu kata hatiku berhasil menyeretku kembali ke
alam sadar.

Demikian juga yang terjadi di hari Senin yang
aneh itu.
“Mia, kamu ngga ke kantin?” tanya Febrita
sahabatku. Kugelengkan kepalaku sambil
tersenyum. “Ngga ah, aku mau ke ruang baca
saja.”
“Kamu selalu begitu, menjauhi keramaian,”
kudengar sahabatku mengomel.
“Masa?” tawaku kecil. “Kan enak sepi-sepi.”
“Hiii,” balasnya dengan mengerutkan wajah.

Sesaat kemudian kami tertawa bersamaan. “Ya
sudah deh,” ucap Febrita kemudian, “nanti
sebelum pulang kamu hampiri aku di kantin,
okay?”
Kuanggukkan kepalaku dan melangkah menuju
ruang baca.
“Mia?” mendadak sesorang menyapaku.
Kutolehkan kepalaku dan tidak melihat siapapun
kecuali segerombolan pemuda yang asyik
merokok di depan majalah dinding. Dengan
heran kulangkahkan lagi kakiku.

“Mia kan?”
Kutolehkan lagi kepalaku dan nyaris melompat
mudur saat seorang pemuda bertubuh jangkung
sudah berdiri di belakangku. Pemuda itu tertawa
melihatku menyeret langkah mundur, “Hey, kok
jadi panik begitu.”
Kupalingkan wajahku ke kiri dan ke kanan,
mencoba mencari senyuman licik yang
mengembang dari mulut seseorang. Ternyata
tidak ada.

“Kamu nyariin apa? Aku disini, loh,” ucap pemuda
itu lagi setelah ikut menolehkan kepalanya ke sana
dan kemari. Kutatap pemuda itu dengan
pandangan curiga, “Kamu siapa?”
“Aku Natan, kakak kelas kamu. Ingat? Yang
nyuruh kamu naik sepeda keliling kampus waktu
ploncoan?” Sekejap kemudian kenangan pahit itu
terlintas kembali di benakku, saat beberapa kakak
tingkat menyuruhku naik sepeda, sesuatu yang
sangat kubenci, berkeliling kampus dengan
kalung bawang di leherku. “Ingat.”
Pemuda itu memasang senyumnya kembali,
“Aku mau pinjam catatan.”
“Catatan?” tanyaku heran.
“Iya,” sahutnya, “review ekonomi makro-nya
Samuelson bab delapan.”
“Oh,” jawabku dengan mengangguk-anggukkan
kepala. Kalau masalah pelajaran sih aku memang
sudah terbiasa menghadapi anak-anak tukang
pinjam.

“Jadi?”
“Ah, ya,” dengan sedikit gugup kurogoh tas besar
di gendonganku dan mengeluarkan sebuah buku
berwarna merah tua. “Ini.”
Sebenarnya dalam hati aku merasa heran,
mengapa aku mau meminjamkan buku yang
rencananya akan kubaca nanti pada seorang yang
baru saja kukenal.
“Hey, thanks,” ucap pemuda itu. Matanya
berbinar saat melihat buku merah di hadapannya.

“Aku kembalikan besok?”
“Terserah,” jawabku tanpa sadar. Sesuatu
menghipnotisku.

“Besok, di kantin, pukul setengah sepuluh.”
“Terserah.” Jawaban apa pula itu.
Jemarinya mendadak melayang dan mengetuk
lembut kepalaku sebelum pemuda itu berlalu
dengan tertawa dan mengucapkan sepatah kata,
“Kamu lucu.”
Ah?
Aku mimpi.
“Feb, kamu ngga bakalan percaya deh.”
Febrita mengangkat kepalanya dan
memandangku sambil bergumam tak jelas
karena mie goreng dimulutnya, “Aa aa?” Dengan
tertawa kutopangkan kepalaku di tangan, “Tadi
ada cowok.” Febri langsung menelan
makanannya dengan paksa, “Cowok?”
“Iya,” jawabku sambil tersenyum. lalu kuceritakan
tentang cowok yang barusan saja meminjam
buku catatanku.

“Tunggu,” mendadak wajah sahabatku berubah
serius, “kamu bilang Natan?”
“Iya, kenapa?” tanyaku heran.
“Natan? Tinggi, putih, cakep?”
Baru kusadari apa yang membuatku terhipnotis
seperempat jam yang lalu.
“Kayanya sih iya.”
“Curang!!” Febrita langsung histeris dan
mengguncang-guncang tubuhku.
“Eh, eh, tunggu! Ada apa ini?”
dua
Dengan jantung berdebar tak karuan kupandangi
setiap orang yang melangkah memasuki kantin.

Aduh, aduh, seruan di hatiku semakin kencang
setiap detik.
“Mana Mia? Kok belum datang?” tanya Febrita tak
sabar.
“Mana kutahu,” bisikku seolah tak ingin Febrita
merasakan kegugupanku.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh
kurang lima. Tapi Natan masih juga belum
muncul. Perlahan rasa putus asa dan kecewa
kembali merasuk di hatiku. “Sudahlah, ayo
masuk. Cowok gituan paling masih sibuk dengan
teman-temannya.” Dengan menganggukkan
kepala lemah kuangkat tubuhku dan melangkah
keluar kantin. Sayup-sayup bisikan itu kembali
terdengar di hatiku, mengusik dan memastikan
kenyataan, “Ah, Mia. Kamu hanyalah gadis biasa.”
Memang. Lalu kenapa?
Tapi catatanku?
tiga
“Mia, ada teman kamu tuh di depan.”
Huh, siapa sih yang main ke rumah sore-sore
begini. Dengan kesal kutinggalkan tempat tidur
dan melangkah ke luar tamu, “Siapa, Ma?”
“Ngga tau, katanya mau mengembalikan catatan.”
Mungkin karena setengah mengantuk dan baru
mengalami hari yang mengesalkan aku tak
sempat mencerna kata-kata mama. Langsung
kulangkahkan kakiku dan membuka pintu depan.

Dan di sana suara tawa menyambutku.
“Eh?” seruku tertahan dengan mata membeliak
tak percaya saat melihat Natan berdiri di teras
dengan tawa yang keluar dari mulutnya.
“Aduh,” ucapku tanpa sadar dan melarikan diri
masuk ke dalam rumah menuju kamar tidur.
“Kenapa, Mia?” sempat kudengar mama bertanya.
Mana ku tahu, sahutku dalam hati kebingungan
merapikan diriku di depan kaca.
“Kok lari?” tanya pemuda itu setelah aku
melangkah keluar rumah.

Dengan wajah merah kugelengkan kepalaku.
“Ngga apa-apa.”
Pemuda itu tertawa lagi dan menyodorkan buku
merah kepunyaanku. “Nih, buku kamu.”
“Thanks,” sahutku dan mengambil buku itu.
“Aku yang thanks,” jawab pemuda itu. Aku sama
sekali tak berani memandang wajahnya.
“Iya deh,” jawabku pendek.
“Sepertinya waktuku tidak tepat, ya?” kudengar
pemuda itu bertanya.
Bukan. “Ngga kok,” sahutku cepat.

“Aku langsung balik saja, ya?”
Kok cepat?
“Terserah deh.”
Walau dalam hati aku kecewa namun aku tak bisa
berkata apapun, hanya bisa memandang pemuda
itu melangkah ke luar pagar. Derum mesin mobil
terdengar beberapa saat kemudian, semakin lama
semakin jauh.
“Teman baru kamu?” suara mama
mengagetkanku dari belakang.
“Entahlah, Ma,” jawabku setengah berbisik dan
melangkah masuk menuju kamar.
Kupandangi buku merah di samping kepalaku.
Apa yang baru saja terjadi? Apa yang akan
terjadi?
Kubuka buku merah itu dan langsung
mendudukkan tubuhku saat melihat gambar
kartun seorang gadis berkacamata dengan lidah
menjulur disertai bubble words “aku lucu loh”.
Setengah kesal bercampur girang kututup buku
itu dan tertawa sendiri. Mungkin aku sudah gila.

empat
“Masa? Dahsyat!” Febrita berseru dengan
membelalakkan matanya setelah kuceritakan
kejadian kemarin. “benar, aku ngga bohong,”
ucapku seraya mengeluarkan buku merah yang
sejak tadi malam entah sudah berapa kali kubuka
dan kututup, hanya untuk melihat gambar di
dalamnya. Febrita membuka buku itu dan
memandangi gambar yang ada di halaman
terakhir.
“Mungkin dia suka kamu, Mia.”
Masa?
“Mana mungkin sih, Feb. Memangnya aku siapa?”
Febrita memundurkan tubuhnya dan
memandangiku dari ujung kepala sampai ke
ujung kaki seperti melihat hantu. “Iya, ya. Aku
juga bingung.”
Dengan kesal kutarik ujung rambutnya. “Awas
kamu.”
“Hai.”
Sapaan itu mengejutkan kami berdua. Febrita
langsung mengerut di sudut kursi dan
memandang dengan pandangan terkejut saat
melihat seorang pemuda bercelana jeans hitam
dan berkemeja kotak-kotak sudah berdiri di
sebelahku.

“Eh,” hanya itu kata yang bisa kuucapkan. Natan
tertawa kecil dan mengulurkan tangannya
kembali lalu menjitak kepalaku lembut.
“Anak lucu.”
Dan aku sama sekali tak berusaha mengelak!
Hanya tertegun, sementara Febrita bangkit berdiri
sambil tersenyum-senyum. “Aku lupa ada janji di
kantin.”
“Feb!” seruku menahan tapi Febrita sudah berlalu
dengan tak lupa melirik penuh arti ke arahku.
Aduh, sekarang tinggal aku sendiri dan…..
“Nanti malam di rumah?”
Ups! Kupalingkan wajahku, ternyata Natan sudah
mendudukkan dirinya di sebelahku. Astaga!
Astaga! Kutolehkan kepalaku ke kanan dan ke kiri,
mencoba mencari pertolongan.
“Halo, kamu masih hidup?”
“Hah?” ucapku kaget, “Iya, iya, aku di rumah.”
Natan tertawa beberapa saat tanpa henti. “Kamu
kenapa sih?”
“Ngga apa-apa,” jawabku masih setengah panik.

“Nat, ayo masuk, nanti terlambat,” mendadak
seorang pemuda menghampiri kami.
“Oh,” sahut Natan sebelum bangkit berdiri. “Nanti
malam jangan lupa mandi.”
Mandi? Mandi? Apa maksudnya?
Febritaaa!! Di mana kamu!
lima
Pagi itu aku bangun dengan suasana hati yang
luar biasa. Seakan aku ingin berteriak pada semua
orang di dunia ini kalau tadi malam Natanael
Songko, kakak tingkat yang keren itu mengecup
bibirku!
Bibir! Bibir! Seperti yang di film-film barat itu!

Sebuah pengalaman sensasional yang tak
mungkin kulupakan seumur hidupku. Suasana
yang romantis di sebuah restoran elite. Dekapan
hangat selama perjalanan pulang, dan sebuah
kecupan yang lembut di bibir. Apa lagi yang
kuharapkan dari hidupku?
“Duh, anak mama. Kok ceria sekali hari ini?”
Mama tersenyum menatapku dari balik surat
kabar. Dengan melompat kecil kuhampiri ia dan
kupeluk hingga mama tertawa. “Aduh, kenapa
lagi anak mama satu ini?”
“Aku sayang mama.”
“Mama juga. Tapi ada apa sih?”
“Rahasia dong,” jawabku lalu menuju ruang
makan.

“Halo, Sayang,” papa memeluk mama dan
mencium pipinya. Dalam hati aku ikut tersenyum,
seolah bisa memaklumi. Mungkin tiga bulan yang
lalu aku masih memandang dengan penuh keirian
pada mama. Sekarang? Nggak lah.
“Hey, sini!” Papa berseru padaku. Kuhampiri lelaki
setengah baya itu, memeluknya dengan hangat.
Sejak kepergian papa ke Jepang tiga setengah
bulan lalu untuk mengambil S2, memang terasa
benar ada sesuatu yang hilang dalam keluarga
kami.
“Mia kangen loh, Pa,” ucapku di telinganya. Papa
tertawa dan menggandeng kami ke arah taksi.
“Sori Papa ngga bawa oleh-oleh banyak buat
kalian,” ucap papa di meja makan. mama
tersenyum dan menyodorkan mangkuk sayuran.
“Ngga apa-apa, asalkan Papa bisa pulang dengan
selamat kan cukup. Iya kan, Mia?”
“Iya,” jawabku dan menyeduh teh hangat di
depanku. Mama tertawa dan berkata seraya
melirik papa, “Tapi ngga bawa oleh-oleh sekalian
untuk Mia ngga apa-apa kok, Pa. Mia nggak
bakalan sedih kok, Pa.”
“Mama!” ucapku dengan nada sebal dan wajah
memanas. Papa melirik ke arahku dan
menyenggol sikutku. “Masa? Jadi sudah ada yang
menggantikan Papa di hati anak Papa?”
“Ngga ada!” jawabku cepat. Mama tertawa lagi.
“Suruh ke sini nanti malam. Ini perintah.”
“Yah, Papa?” ucapku dengan nada lemas.
enam
“Hahaha,” terdengar papa tertawa dari depan
teras. Dengan berdebar-debar kuteruskan
memutar sendok teh itu walaupun kuyakin gula
di dalamnya sudah larut sepuluh menit yang lalu.

Akhirnya papa melangkah masuk dan
menghampiriku. “Sudah, bawa sana tehnya.”
Nyaris aku bersorak girang melihat senyuman di
wajah papa.
“Thanks, Pa,” seruku seraya memeluknya. Papa
menggeliat dan tertawa kecil.
“Heh, heh. Apaan ini?”
“Papa kamu menarik, aku sama sekali tidak
mengira kalau dia seorang dosen.”
Dengan tersenyum kuperhatikan Natan
meminum teh hangatnya.
“Natan,” panggilku lirih.
“Ya?” pemuda itu meletakkan cangkir teh dan
mengangkat kepalanya menatapku. Kutundukkan
kepalaku dan memainkan jepit rambut di
jemariku.

“Yang semalam itu…”
Mendadak Natan mengulurkan tangannya dan
meletakkan telapak tangannya di atas jemariku.
“Aku kan sayang kamu.”
Tersenyum kuangkat kepalaku menatap matanya.
Sungguhkah ini?
“Oh, aku punya sesuatu untuk kamu.” Natan
melepaskan jemarinya dan merogoh ke balik
punggungnya. Dengan berdebar kulihat Nathan
mengeluarkan sebuah kotak kecil dibungkus
plastik. “Apa itu?”
“Buka saja sendiri,” ucap pemuda itu dengan
nada misterius.

Hati-hati kukeluarkan kotak itu dan membukanya.
“Astaga, Natan!” pekikku tertahan saat melihat
sebotol parfum di dalamnya.
“Kamu suka?”
Melompat kubangkit berdiri dan memeluknya.
“Makasih.”
Natan melepaskan pelukanku, melepaskan kaca
mataku dan mengecup bibirku. Langsung kutarik
kepalaku dan melirik ke dalam rumah.
“Gila kamu, ini kan di rumah.”
“Aku ngga ingin lupa rasa bibirmu.”
Wajahku langsung terasa panas.
Malam itu, sebelum pulang, Natan mencium
bibirku lagi di dalam mobil. Satu kalimat yang
terngiang di telingaku dan membuatku
menyusupkan kepala ke balik guling dengan
malu-malu. “Aku sayang kamu.”
tujuh
“Kamu bolos lagi?” tanya Febrita dengan alis
berkerut.

“Tolong, Feb. Ini yang terakhir. Aku kan sekarang
ulang tahun. Mana mungkin papa dan mama
mengijinkan aku keluar sampai malam?”
Dengan menggelengkan kepalanya Febrita
melambai, “Iya deh. Tapi jangan lupa katakan
pada Natan kalau aku juga ingin punya cowok.”
Sambil tertawa kupeluk sahabatku. “Kamu baik
deh.”
“Dari dulu,” ucapnya pendek.
“Bagaimana?” tanya Natan yang sudah
menunggu di lapangan parkir. Kumiringkan
kepalaku sedikit dan mengembangkan
senyumku. Natan tertawa dan melangkah ke
samping mobil, membukakan pintu untukku.

“Silahkan Tuan Puteri.”
“Kita ke mana?” tanyaku setelah mobilnya
meluncur di jalanan. Natan menggenggam
jemariku dan menatapku. “I have something for
you.”
“Oh, ya?” tanyaku ingin tahu.
Setelah parfum, gaun, gelang sampai ke kalung
selama enam bulan hubungan kami, apa lagi
yang akan diberikannya sebagai kejutan untukku?
Pasti sesuatu yang istimewa mengingat hari ini
ulang tahunku.
“Welcome to my humble house,” ucap Natan
setelah membukakan pintu untukku. Dalam hati
aku merasa sesuatu yang tidak benar sedang
berlangsung di sini. “Nat, nanti kalau ada orang
tua kamu bagaimana?”
“Mereka sedang di Jakarta, hanya ada pembantu
dan sopir.”
Kuangkat kepalaku dengan ragu-ragu,
memandang rumah besar yang pasti dua kali
lipat rumahku itu di depan mata. “Ayo,” bisik
Natan di telingaku dan menutup pintu mobil.

Sesaat kemudian pemuda itu sudah menyeretku
melintasi pagar kepintu ruang depan yang terbuat
dari kayu jati berukir.
“Tutup mata,” bisiknya seraya tersenyum
misterius di depan wajahku.
“Ngga mau ah,” jawabkumasih ragu-ragu. Natan
tertawa dan meletakkan jemarinya di kedua
mataku. “Ayo tutup, ini kejutan.”
Akhirnya kututup mataku dan kudengar suara
pintu dibuka. Natan menuntunku masuk dan
melangkah beberapa detik sebelum berkata,
“Sekarang pelan-pelan duduk.” Mengikuti kata-
katanya kududukkan tubuhku dan merasakan
keempukan sofa di bawahku.
“Natan?” tanyaku saat merasakan pegangannya
lepas dari lenganku.
“Ssshhh,” kudengar Natan berbisik tak jauh
dariku.
“Buka mata,” akhirnya kudengar Natan berkata
lembut.
delapan
Tak ada kata yang bisa kuucapkan saat melihat
apa yang kulihat di hadapanku saat itu.
Bermacam hidangan terhampar di sebuah meja
kayu, dua batang lilin menyala di tengah-tengah
meja, memberikan sedikit cahaya di ruangan
yang remang-remang karena jendela ditutup.

“Natan,” bisikku lirih. Di sisi lain meja, Natan
dengan tersenyum membungkukkan tubuhnya
dan mengangkat naik sebuah kue taart cokelat
dengan lilin berbentuk angka di atasnya.
“Selamat ulang tahun, Mia.”
“Natan,” lagi-lagi hanya namanya yang bisa
kubisikkan. Perlahan kurasakan wajahku
memanas dan air mata menetes di pipiku. Natan
bangkit berdiri, menghampiriku dan memeluk
leherku dari belakang.
“Kok nangis? Kamu ngga suka?”
Bagaimana bisa tidak suka? Seumur hidupku, saat
inilah saat yang paling istimewa yang pernah
kualami. Candle light dinner. Bagaimana aku bisa
tidak suka? Bagaimana aku tidak menangis
melihat mimpi-mimpi yang jadi kenyataan?
“Mia?” Natan berbisik di telingaku.
Dengan spontan kubalik tubuhku, menarik
kepalanya dan mengecup bibirnya. Natan
membalas melumat bibirku selama beberapa
saat, sebelum menarik tubuhku menjauh,
menyeka air mataku dan mencium keningku.

“Sudah, ayo kita makan.”
Masih terisak kubalikkan tubuhku menghadapi
meja makan.
Ya Tuhan, apa yang diperbuatnya hingga aku tak
merasa jatuh cinta padanya?
sembilan
“Bukan begitu, begini,” Natan berkata sambil
tertawa. Tangannya menopang tubuhku hingga
tak sampai terjatuh. Dengan wajah merah aku
berusaha meluruskan tubuhku. “Susah.” Natan
masih tertawa dan mencium bibirku.
“Belajar dong.”
Perlahan kuperhatikan lagi irama yang keluar dari
tape-deck di samping tv dan menggerakkan
kakiku seiring gerakan Natan. Beberapa saat
kemudian tubuhku sudah limbung lagi, kali ini aku
benar-benar terjatuh ke atas karpet.
Natan tertawa dan mendudukkan tubuhnya di
sebelahku.
“Badanku lemas,” bisikku lirih.
Kurasakan Natan memeluk tubuhku dan
menempelkan kepalaku di dadanya.
“Lain kali pelan-pelan saja.”
Bukan itu. Tapi tubuhku terasa lemas sekali. Dan
rasa panas di kepalaku.

“Mia?” kudengar Natan berkata di telingaku. Aku
tak sanggup menolehkan kepalaku, semua terasa
berputar. Kuraih leher pemuda itu dan
memeluknya erat-erat.
Natan mengecup bibirku….
sepuluh
Rasa nyeri dan dingin di tubuhku membuatku
terbangun. Betapa terkejutnya hatiku saat kulit
lenganku menyentuh kulit seseorang. Kuangkat
tubuhku dan terkesiap melihat Natan berbaring di
sebelahku…. telanjang bulat.
Aku juga… telanjang.
Kutarik tepian selimut di pahaku dan menutupi
dadaku, bingung apa yang terjadi dan apa yang
harus kuperbuat. Natan menggeliat dan
membalikkan tubuhnya. Rambutnya kusut dan
matanya terlihat berkantung, “Mia? Kamu
bangun?”
“Natan…?” bisikku lirih, dan air mata mulai
membanjir di pipiku. Kurasakan lengan pemuda
itu melingkar di punggungku, bibirnya menempel
di telingaku.

“Aku sayang kamu, Mia.”
Masih terisak kurasakan bibirnya menyentuh
bibirku. Lengannya melepaskan genggamanku
pada selimut dan menekan tubuhku berbaring.
“Natan….” desahku saat merasakan tubuh
pemuda itu menindihku.
“Aku sayang kamu,” bisikan itu kembali
mengiang di telingaku. Kurasakan getaran-getaran
kecil di pori-pori tubuhku saat Natan membelai
dan mengecup buah dadaku. Ingin rasanya
kucampakkan tubuh pemuda itu, tapi tubuhku
sendiri terasa begitu lemas dan benakku terasa
berputar. Natan mengangkat kedua lenganku ke
atas dan menciumi leherku. Panas merasuki
tubuhku, membuatku menggelinjang dan
mendesah.

“Ahhh,” erangku saat sesuatu menekan
kemaluanku dan memaksa masuk. Rasa nyeri
kembali menyerang selangkanganku.
“Mia,” kudengar Natan memanggil namaku
dengan lembut. Kubuka mataku yang sedari tadi
kupejamkan dan kulihat Natan memandangku
hangat lalu mengecup bibirku yang setengah
terbuka. Lalu kurasakan benda keras yang
menyesak di kemaluanku tadi melesak dan
menusuk dengan rasa nyeri yang luar biasa.
Kudengar Natan mendesah dan mengerang di
atasku. Perlahan kurasakan kesadaran mulai
meninggalkanku dengan pertanyaan-pertanyaan
‘apa ini? apa itu’. Tapi kecupan-kecupan Natan di
tubuhku menarik kesadaranku kembali, membuat
tubuhku berguncang. Rasa nyeri itu perlahan
menghilang saat Natan menggerakkan tubuhnya,
berganti dengan rasa geli yang menyenangkan.

Natan mengulum bibirku dan menarik lenganku
melingkari lehernya. Benda keras itu bergerak-
gerak di dalamku, memaksaku menggeliat dan
mengerang. Perlahan tapi pasti suatu rasa
merangsak naik dari selangkangan menelusuri
tulang punggungku, membuka semua pori-pori
kulitku, membuat bulu-buluku meremang.
Mendadak langit kamar berputar di atas kepalaku,
kilatan cahaya menggelapkan dan rasa pening
sekejap menyerang kepalaku. Kurasakan benda
keras itu tertarik keluar. Natan mengerang dan
tubuhnya kaku di atasku.
“Mia, aku sayang kamu. Selamat ulang tahun,
Sayang.”
Dan aku tak bisa berkata apapun juga, bahkan
saat pemuda itu menyusupkan kepalanya di dada
telanjangku. Pikiranku terasa kosong, tubuhku
benar-benar lemas sekarang, walau rasa nyeri itu
sudah jauh berkurang.

Apa yang terjadi? Apa yang sudah kulakukan
barusan?
sebelas
Natan membetulkan letak kaca mataku sebelum
mengecup keningku di depan teras. “Aku pulang
dulu, Mia. Aku sayang kamu.” Dan aku mulai
meragukan kata-kata yang sejak tadi sore
mengiang di kepalaku dengan nada yang begitu
menteramkan.
“Natan….”
“Ya?” pemuda itu membalikkan tubuhnya.
Kupeluk tubuhnya erat, berusaha meyakinkan
bahwa Natan tidak menipuku dan
mempermainkanku selama enam bulan ini.

“Aku sayang kamu juga.”
Kurasakan Natan membelai punggung dan
rambutku.
“Akhirnya kamu katakan juga.”
Dalam air mata yang kembali mengalir di pipiku
aku tertawa. Bahagia?
dua belas
Kami sempat melakukannya beberapa kali lagi
dua bulan sesudahnya. Aku senang, karena Natan
benar-benar sayang padaku. ia membuktikannya
dengan tidak merubah perlakuannya padaku,
masih penuh kasih sayang dan kelembutan.
Hanya satu kata yang mengusik benakku setiap
malam menjelang tidur, yaitu ‘dosa’. Karena
sebagai anak yang terlahir di sebuah keluarga
yang religius, mama dan papa berulang-ulang
mengingatkanku untuk tidak terjerumus dalam
seks pra-nikah. Tapi apa yang sudah kulakukan
sekarang? Bahkan pada saat aku dan Natan
melakukannya terakhir kali, aku mulai merasa
menikmatinya. Kalau bukan aku berarti tubuhku.
Hingga suatu hari yang menyakitkan…..
“Film-nya bagus,” ucapku tersenyum padanya
saat melangkah keluar gedung bioskop. Natan
memandangku dan ikut tersenyum. “Sayang
sekali heroin-nya harus mati. Jaman sekarang
cerita yang happy-ending susah didapatkan.”
Dengan mengangguk kulangkahkan kakiku
memasuki mobil.
Mendadak rasa pening yang amat sangat
merasuk di kepalaku, membuat kakiku terpeleset
dan tubuhku terjatuh di samping mobil.
“Mia?” seru Natan seraya mengangkatku beridiri.
Dunia terasa berputar. Kupegang atap mobil dan
berusaha menghilangkan pening itu dengan
menggoyangkan kepalaku. Sejak dua bulan lalu
memang rasa pusing dan mual sering
menyerang kepalaku dengan frekuensi tak teratur.

“Kamu ngga apa-apa?” tanya Natan masih
memegangi pinggangku.
“Ngga apa-apa.”
“Aku antar kamu pulang saja.”
Mengangguk lemah kumasukkan lagi tubuhku ke
dalam mobil.
Sesampainya di rumah kubuka lemari obat dan
mengeluarkan sebungkus neuralgin kepunyaan
mama. “Kamu sakit?” tanya mama di pintu
dapur.
“Pusing,” jawabku lemah. Mama mendekat dan
memegang lenganku, mendadak alisnya berkerut
manatapku. “Kamu tambah gemuk.”
“Masa?” jawabku tak acuh seraya menyorong
obat dengan air dingin. Kulepaskan lenganku dari
mama dan melangkah ke kamar.
Pagi itu. Pukul tiga, rasa sakit kebali
mengguncang otakku dan memaksaku bangun.
Mendadak perutku merasa mual yang amat
sangat. Kularikan tubuhku ke kamar mandi dan
sekejap kemudian cairan lengket tumpah keluar
dari mulutku dan memenuhi WC. Perutku melilit
dan kepalaku sakit.

Ya Tuhan, pikirku dalam hati.
Aku hamil?
tiga belas
“Masa?” tanya Natan dengan wajah pucat
keesokan harinya di kantin.
“Aku takut,” bisikku lirih. Natan menolehkan
kepalanya dan memastikan tidak ada seorangpun
yang memperhatikan kami.
“Lalu?” tanyanya, sebuah pertanyaan bodoh yang
tak ingin kudengar saat itu. Kubetulkan letak kaca
mataku, menatap pemuda itu berang. Ingin
rasanya saat itu aku berteriak padanya, namun
Febrita sudah menghampiri kami.
“Ayo, Mia. Kita masih ada tugas untuk
dikerjakan.”
“Jawab sendiri pertanyaanmu,” desisku sebelum
bangkit berdiri. Natan menatapku dengan
pandangan sedih. Jangankan kamu Natan, aku
sendiri yang punya tubuh juga merasa ingin
mati.
empat belas
“Mia! Mia! Kamu kenapa?”
Febrita memegangi lenganku. Kurasakan semua
orang mulai berkerumun dan mengelilingiku. Tak
tertahan lagi kumuntahkan kembali semua isi
perutku. Kudengar bapak dosen berseru, “Cepat
bawa anak ini ke rumah sakit.”
Sesuatu terasa menusuk kepalaku saat lengan-
lengan itu memapahku berdiri. Kilatan-kilatan
kembali menggelapkan dan menerangi
pandanganku. Perlahan suara-suara ribut
berubah menjadi desau angin yang
menghantarkan kegelapan itu memenuhi
benakku.

Natan? Di mana kamu Natan?
Kularikan kakiku sambil berseru-seru memanggil
nama kekasihku.
Ini bukan kehamilan….. Natan! Nataaaannn!!

lorong itu masih gelap dengan nebula-nebula
menyelimuti pandanganku.
lima belas
Kubuka mataku saat kurasakan sebuah bibir yang
kering mengecup pipiku lembut. Kulihat pemuda
itu sudah duduk di sampingku. Wajahnya masih
pucat seperti minggu kemarin saat kukatakan
bahwa aku hamil.
Kukembangkan senyumku padanya dan ia ikut
tersenyum.
“Sejak kapan di sini?” tanyaku lirih padanya.
Natan, masih tersenyum, membetulkan letak
selimut yang menutupi tubuhku sampai ke dada.
“Lumayan. Sekitar Satu jam-an.”
Kucoba mengangkat tubuhku tapi Natan
menahan. “Tiduran saja.”
“Oke,” sahutku dan merasakan tubuhku benar-
benar lemas. Kuacungkan tanganku ke arah kaca
mata di samping tempat tidur. Natan
mengambilnya dan memasangkannya di
kepalaku.

“Kamu tahu sesuatu yang menyenangkan?”
bisiknya lirih.
“Apa?” tanyaku ingin tahu.
“Kamu ngga jadi hamil,” jawabnya. Lalu kami
berdua tertawa.
Tawa itu pahit. Kami berdua tahu itu.
Mendadak Natan menjatuhkan kepalanya di
perutku dan menangis.
“Mia….”
“Ssshh, kok nangis?” Kubelai rambutnya yang
ikal. Bahkan air mataku sudah habis sejak empat
hari yang lalu.
Natan mengangkat kepalanya, meraih tanganku
dan menciuminya.
“Hey, kan geli,” candaku. Natan tersenyum walau
air mata masih terlihat di pipinya. “Betapa aku
menyayangi kamu, Mia.”
“Aku tahu.”
Suasana mendadak jadi hening.
“Natan?”
“Ya,” jawab pemuda itu dengan lembut.
“Aku mau bercinta denganmu.”
“Hah?” pemuda itu lalu tertawa, “Sekarang? Di
sini?”
“Ya. Di mana lagi?” ucapku tersenyum.
Natan menatap ke pintu kamar, tertawa dan
membuka retsleting celananya.
“Dasar,” ucapnya tersenyum. Dengan tertawa
kutarik tubuhnya ke atas tempat tidur. Natan
menciumi bibirku, wajahku, telingaku, leherku,
dada telanjangku. Membuatku menggelinjang
dalam kenikmatan. Kubiarkan pemuda itu
bergerak-gerak di atasku, memasuki tubuhku dan
memenuhi rongga kewanitaanku dengan
kelelakiannya. Bersama kami mengerang lirih dan
mendesah lembut, tak ingin perawat-perawat itu
tahu apa yang kami nikmati saat itu.
“Natan,” bisikku terengah. Natan mengangkat
kepalanya dari dadaku. “Ya?”
“Keluarkan di dalam?” pintaku sambil melirik
kepadanya. natan membelalakkan matanya.

“Yang benar saja?” Sesuatu yang tak pernah
dilakukannya.
“Benar,” bisikku padanya. Natan tersenyum dan
sebutir air mata kembali jatuh di perutku. Aku
sayang kamu, seolah matanya berkata demikian.
Natan menundukkan kepalanya dan
menggerakkan pinggulnya semakin cepat.
Kurasakan sentakan demi sentakan memicu
rangsangan listrik itu ke otakku.
“Natan,” desahku memanggil namanya. Natan
menggeliat dan mengencangkan pinggulnya,
menekan lama. Kurasakan semburan cairan itu
panas di dalam kemaluanku. Kulegakan listrik
yang sampai di otakku dengan menghembuskan
nafas lega, sekejap kemudian endomorfin bekerja
melenakanku dalam kelelahan dan kenikmatan
yang tiada taranya.
Natan menyusupkan kepalanya di leherku dan
berbisik, “Aku tetap sayang kamu, Mia.
Selamanya.” Dan bahu pemuda itu beguncang
kembali. Di sela isak tangisnya kurangkul lehernya
dan berbisik menimpali.

“Aku juga, Natanael.”
Aku tahu, tak lama lagi aku akan meninggalkan
dunia dengan kanker otak yang sudah
mengeroposkan tubuhku. Namun apa yang
selama ini menjadikan iri-ku sudah kubayar
impas. Tak ada lagi yang kuharapkan selain
menikmati masa-masa terakhirku di samping
orang-orang yang kukasihi. Mungkin
penyesalanku yang terutama adalah mengapa
semua ini terlalu cepat berawal dan berakhir. Tapi
itulah yang namanya hidup. Selalu penuh kejutan.

Saat kulangkahkan kakiku menelusuri anak tangga
demi anak tangga menuju ke puncak menara
untuk melihat gunung dan bukit di bawah, aku
sadar bahwa akhirnya aku takkan sanggup
menggapai puncak itu. Tapi bahagiaku karena aku
menyaksikan sudah pemandangan indah itu dari
celah tembok menara. Tak perlu muluk, yang
penting bahagia, bukan?


Adult | GO HOME | Exit
1/873
U-ON

inc Powered by Xtgem.com